Kamis, 09 Juni 2011

Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya di Indonesia


Pendidikan Yang Membebaskan
Menurut Paulo Freire
dan Relevansinya di Indonesia

  1. Pendahuluan.
Sebagaimana diketahui bahwa pendididkan tidak lepas dari sejarah kehidupan manusia. Sedari manusia dilahirkan dimuka bumi ini sampai menutup mata, manusia tidak lepas dari dunia pendidikan formal maupun non-formal. Institusi Pendidikan adalah salah satu pendidikan formal yang bekerja untuk memperlengkapi anak didik akan pengetahuan yang seyogyanya bermanfaat bagi kehidupannya saat ini dan kelak yang akan ia hadapi.
Bagi negara maju, pendidikan menjadi peranan penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Negara yang maju adalah negara yang mengusahakan pendidikan penduduknya secara optimal, sehingga segala manifestasi yang dihasilkan anak didik dapat dirasakan bagi negaranya. Tetapi tak jarang juga pendidikan dipakai sebagai propaganda politik dalam melicinkan maksud dan tujuannya. Semasa era kolonialisme pendidikan adalah bagian dari sarana koloni yang tanpa dirasa efeknya pelan namun merusak dari segi moral dan kpibadian bangsa. Semasa kolonial pendidikan dipakai sebagai sarana “pembodohan” dan “pembisuan” suara rakyat akan apa artinya sesungguhnya kehidupan manusia yang merdeka. Hal ini dikarenakan hasrat sang pengkoloni untuk terus menancapkan pengaruhnya di negeri yang baru tersebut. Jika di lihat dari hakikatnya, pendidikan seharusnya dimiliki semua orang sebagai hak yang otonom, bebas dan bukan ditentukan oleh ras, agama, martabat, kekayaan atau hal-hal nisbi lainnya.

Paulo Freire, seorang anak bangsa dari negeri asalnya yang berani mengkritik sistem pendidikan Brazil yang terkoloni oleh kaum feodalis sisa-sisa penjajahan. Hanya dia yang mampu dan berani menyerukan perombakan dan pembaharuan sisitem pendidikan yang “tenang dan ayem” namun diam-diam seperti bisa ular yang mematikan unsur kreatifitas manusia merdeka. Pendidikan Brazil, dan mungkin disebagian negara koloni lainnya seperti di Indonesia juga mengalami hal yang sama, terkoloni oleh sistem peninggalan kaum penjajah yang memaksa setiap anak didiknya membisu dan menutup telinga akan suara hatinya untuk melakukan perubahan-perubahan signifikan bagi negaranya.
Berkaca dari permasalahan tersebut, maka makalah ini dibuat sebagai kritik dan bedah ideologi yang mungkin bermanfaat dalam mengubah paradigma pendidikan yang masih perlu diperbaiki bersama. Di pembahasan selanjutnya kita akan mnyelami lebih dalam apa itu pendidikan tipe kolonialisme, apa dampaknya bagi negara? Dan beberapa poin tentang teori Paulo Freire “pendidikan yang membebaskan”, serta refleksinya terhadap Indonesia. Dari sini diharapkan setelah membuat makalah ini maka siswa mampu memahami apa itu isu-isu pendidikan yang sedang terjadi masa moderen ini, tren apa yang sedang terjadi serta kritisasi atas isu yang sedang dihadapi bangsa dan negara ini. Penulis ucapkan trimakasih kepada Bp. Pdt, A. Areng Mutak, Ed.D. selaku dosen pengajar mata kuliah Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Kristiani serta rekan-rekan seangkatan yang telah menyumbangkan ide dalam penulisan makalah ini.




  1. Pendidikan dan Kolonialisme indonesia.
  1. Pendidikan.
Devinisi pendidikan tidak lepas dari filsafat pendidikan. Para ahli pendidikan memberi rumusan sebagai berikut:
Menurut H. Horne “Pendidikan adalah proses yang terus menerus sebagai pribadi fisik maupun mental akan pengenalan pada penyesuaian yang lebih tinggi akan ketuhanan yang dimanifestasikan dalam intelektualitasan dan kemanusiaan (sosio-kultural)”1
Fredrick J. McDonald mendevinisikan “pendidikan sebagai kegiatan atau proses yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia”2. Jadi artinya manusia memiliki karakter yang cendrung berbuat sikap yang tidak baik, oleh sebab itu menurut McDonald itulah arti penting keberadaan pendidikan bagi manusia.
Lain halnya dengan Dr. M. J. Langeveld yang menyatakan “pendidikan sebagai pekerjaan membimbing anak didik menuju kedewasaan dalam kemandirian”. Tampaknya Langeveld terinspirasi teori Horace Bushnell (1802-18760) yang menganggap pendidikan adalah proses regenerasi tugas dan tanggungjawab dari orang dewasa ke anak-anak yang dilakukan berkesinambungan3.
Sedangkan tujuan pendidikan secara global bertujuan mempersiapkan anak dalam masyarakat, seperti yang tercantum dalam UU No. 2 tahun 1989 “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dalam perannya dimasa yang akan datang dalam kemasyarakatan”.4
Dari sekian banyak pendapat para ahli tentang pendidikan, maka dapat kita simpulkan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana seumur hidup untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan akan Tuhan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan serta yang diperlukan dirinya dalam kemandirian dan bermasyarakat.
Terlebih lagi fungsi pendidikan serta keberadaannya di masyarakat, pendidikan memberi andil sangat besar terhadap kehidupan suatu masyarakat, atau bahkan bukan saja bagi tiap individu yng berkecimpung langsung dalam proses pendidikan, namun bagi arah kemajuan suatu negara.
Theodore Brameld berpendapat “Pendidikan adalah kekuatan bagi rakyat untuk menentukan suatu dunia macam apa yang kita inginkan dan bagaimana cara mencapainya”5. Brameld dengan jelas mengatakan bahwa sesungguhnya pendidikan adalah sistem dan pandangan masyarakat yang menjadi kekuatan bagi masyarakat itu sendiri untuk menentukan mau kemana negara tersebut, apa yang ingin dicapai, dan dengan cara apa. Pendapat Brameld ini dikarenakan perhatiannya terhadap kemajuan negara berkolerasi erat dengan aspek pengelolaan pendidikan oleh masyarakat itu sendiri, ini berarti pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, pendidikan di disain oleh manusia dan kembali diaplikasikan bagi kemakmuran manusia.

  1. Kolonialisme dan imperialisme
Tindakan yang disebut kolonialisme memiliki sejarah yang panjang. Bangsa Yunani, Makedonia, Mesir, Babilonia, dan Romawi sudah melakukakn ini sejak jaman dahulu kala. Seperti yang tercatat dalam Alkitab, bangsa-bangsa saling menaklukan sat dengan yang lain demi sebuah tanah yang saling diperebutkan6. Kata Koloni diambil dari akar kata Yunani "metropole" atau dikenal dengan metropolis [Greeka: "μητρόπολις"] - "ibukota". Sedangkan kata Koloni, "colony" berasal dari kata Latin colonia – "tempat untuk bertani (agrikultura)". Collins English Dictionary mendefinisikan kolonialisme sebagai “sebuah kebijakan untuk memperoleh (mengembangkan) koloni (populasi, penduduk), khususnya dipakai untuk eksploitasi (pencarian sumberdaya)7.
Ensiklopedia Stanford menerangkan kolonialisme “sebagai usaha maupun proses bangsa Eropa dalam mencari tempat tinggal baru (settlement) disebagian dunia ini dan mengusai bidang politik maupun ekonominya, termasuk Asia, Afrika, Australia dan Amerika”8. Ada beberapa kesulitan dalam membedakan antara kolonialisme dan imperialisme, namun dalam hal ini Penulis menyajikan kolonialisme dalam konteks waktunya dan ruang lingkup pembahasan sesuai penulisan, maka kolonialime dapat berarti, “usaha politik yang dilakukan bangsa Eropa dalam menduduki wilayah lain yang dimulai pada awal abad ke 16 M s/d abad ke 20 M dan berakhir pada gerakan deklarasi kemerdekaan dunia pada tahun 1960an”9
Perkataan imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain10.
Sesungguhnya Kolonialisme dan Imperialisme dapat dilambangkan sebagai mata uang yang saling melekat pada kedua sisinya. Robert Young mengatakan bahwa “ Imperialisme adalah sebuah konsep yang melatar-belakangi terjadinya kolonialisme” Jadi dalam hal ini imperialisme adalah ide memperluas daerah, sedangkan koloni adalah sebuah wujud tindakan dari imperialisme dengan cara menjajah dan menduduki; yang umumnya dengan paksaan. Melalui kolonialisme maka pemerintahan imperial-pun berdiri yang selanjutnya akan mengembangkan kekuasaan politik dan ekonomi di daerah jajahan barunya itu.
Dalam sejarahnya kedua “kakak-beradik” ini (kolonialisme dan imperialisme) memulai usahanya sejak jaman penemuan antara abad ke 10-15 M, dimana Portugal dan Spanyol mulai menjelajahi lautan (ekspansi) dan menemukan daerah-daerah baru untuk membuat pos-pos dagang dengan kerajaan (imperial). Dimulai dari kedua kerajaan ini, Porugis dan Spanyol yang menguasai pos dagang Asia, termasuk Indonesia yang disebut dalam pembagian wilayah koloni perjanjian Zaragoza (1526)11. Babak baru dimulai ketika kerajaan Belanda dan Inggris mulai melakukan penjelajahan yang mengikuti rute yang sama dengan Spanyol-Portugis pada awal abad ke 16 dan 17 M ke daerah Asia. Sedangkan di Eropa, Swedia, Jerman, Belgia, Russia, dan Austria juga melakukan penjajahan, namun mereka hanya menjajah daerah tetangganya saja dan tidak sempat untuk mengarungi lautan seperti negara yang lain kecuali Jepang yang menjajah asia Tenggara12.
Jumlah penjajahan pada abad ke 19 M, mulai berkurang karena adanya gerakan revolusi kemerdekaan dari Amerika Serikat, Amerika Latin, Afrika dan Timur Tengah. Selanjutnya disusul daerah Asia seperti Indonesia, Malaysia, China dan seterusnya. Saat ini kolonialisme dan imperialisme terhambat oleh Traktat PBB (1940-1962) yang melarang adanya penjajahan terhadap negara lain, Indonesia tertolong sampai mampu merdeka dan diakui oleh PBB dan dunia sebagai negara merdeka. Secara langsung penjajahan mungkin tidak terasa lagi secara fisik di abad ke 20 ini, namun bukan berarti kolonialisme dan imperialisme telah musnah dari muka bumi ini, dan dengan tiba-tiba manusia menjadi baik, kedua bersaudara ini hanya berubah wujud menjadi penjajahan di bidang ekonomi, politik, budaya dan moral, suatu gaya penjajahan yang lebih halus namun mematikan secara jangka panjang.
  1. Kolonialisme dan pengaruhnya.
Kolonialisme pada umumnya memberi pengaruh yang buruk dari berbagai aspek, kesehatan, kemanusiawian, ekonomi, budaya dan agama.
  1. Kesehatan.
Laporan sejarah mengatakan banyak daerah jajahan mengalami kematian masal yang diakibatkan oleh cacar air, disentri, demam berdarah, typus, dan penyakit lainnya. Tercatat juga pada tahun 1520 di Meksiko cacar air membunuh 150.000 orang pribumi dan pendatang koloni, sedangkan daerah Massachusetts tahun 1618-1619, cacar telah memakan korban sekitar 2 juta penduduk asli yang telah menghapus 90% total jumlah penduduk Indian disana. Selain itu di Australia dan Hawai 50% penduduk pribumi meninggal karena penyakit ini, 150.000 penduduk Fiji tertular penyakit dari koloni dan pada awal abad ke 19 ada lebih dari 70% penduduknya mati karena cacar air dan influenza. Di Eropa penyakit yang paling ditakuti adalah Kolera dan Sipilis yang mampu membunuh 20% penduduk jajahan dan ibu kota. Ada yang beranggapan bahwa penduduk asli tidak memiliki imun sama dengan kaum penjajah, dan penyakit itu dibawa dan ditularkan oleh kaum penjajah hasil dari kontak fisik dan sosialisasi. Virus yang dibawa kaum penjajah itu berasimilasi dengan penyakit lokal dan menciptakan virus baru yang tidak dapat di sembuhkan dengan obat tradisional penduduk. Selain itu disentri, kolera dan cacar bisa terjadi karena kehidupan pribumi yang miskin dan tertindas, kekurangan makanan dan air bersih, belum lagi mayat-mayat korban perang terkadang hanya di kubur seadanya atau tak jarang hanya dibuang disungai maupun di hutan.

  1. Perbudakan.
Perbudakan sudah dikenal dari jaman purba di hampir seluruh negara. Pada abad ke 7 M dan awal abad ke 20 M diperkirakan ada 18 juta penduduk asli Afrika dijual melintasi seluruh daerah jajahan sebagai budak koloni. Dari Asia ada 12 juta orang dijual ke Eropa dijadikan budak dan pekerja kasar pada abad ke 15-19 M. Tahun 1654-1865, perbudakan adalah hal yang lumrah bagi penjajah di Amerika. Menurut sensus penduduk tahun 1860 tercatat dari 15 negara bagian Amerika dengan total penduduk 1.515.605 keluarga ada 393.967 keluarga memiliki budak dirumahnya. Ini berarti perbandingannya 1:4 (artinya empat keluarga punya satu budak) dengan kwantitas 8% dari jumlah keluarga Amerika13. Sebagian penduduk Indonesia khususnya dari pulau Jawa ada yang dijual sebagai budak ke negara Eropa oleh bangsa Belanda. Di Suriname ada perkampungan rakyat Jawa dan Maluku yang hampir mencapai 3% penduduk asli Negeri Belanda.





  1. Pendidikan koloni Indonesia dalam garis waktu.

  1. Sistem Pendidikan Hindu dan Buddha.
Kedua agama ini sudah ada di Indonesia sebagai budaya tertua yang mempengaruhi 60% budaya Indonesia purba14. Agama ini masuk bersamaan dengan hubungan dagang Indonesia dengan India dan China pada abad ke 2 M, yang saat itu pengaruh Buddha Hindu sedang berkembang dengan pesat. Para penyebar agama ini mayoritas adalah dari kaum Brahmana (pendeta) dan Waisya (pedagang). Karena para pendatang ini dianggap terhormat, maka mereka memiliki akses kepada raja dan kepala suku, secara tidak langsung pendidikan Buddha Hindu diterapkan menjadi agama nasional dan kurikulum pendidikan nasional. Kedua agama ini menekankan kehidupan yang bersahaja dengan masyarakat sekitar dan alam. Pendidikan biasanya di jalankan di wihara dan difokuskan pada pembentukan karakter dan budaya generasi selanjutnya. Hal ini dapat ditemukan pada relief-relief candi Tikus, Borobudur, Prambanan, candi lainnya, maupun dari prasasti, tugu dan kitab-kitab kuno yang detemukan sejarawan.

  1. Sistem Pendidikan Islam.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 6 sampai ke 16 melalui perdagangan15. Islam berkembang di Indonesia melalui percampuran ras. Para saudagar dari India dan Arab berlayar ke Indonesia dan acap kali menikahi penduduk pribumi dan mendirikan perkampungan Islam di pesisir pantai, Barus (Sumatra Barat) yang dikenal sebagai penghasil kapur tulis (kapur barus) adalah perkampungan islam pertama yang diketemukan berangkakan abad ke 6 M16. Islam yang masuk tanpa unsur kekerasan akhirnya diterima masyarakat dengan senang hati apalagi, terlebih islam mengajarkan kesamaan derajat tanpa ada kasta seperti Hindu dan Buddha. Bagi rakyat saat itu sistem kasta merupakan ketidak adilan. Para wali dan sunan mengajarkan islam melalui kesenian, politik, pernikahan, pendidikan dan budaya17. Pesantren dan Masjid adalah ruang kelas bagi para pengikut islam baru untuk belajar mengaji dan baca Al-quran. Tujuan pendidikan islam saat itu adalah meluaskan agama dan membawa panji islam18.

  1. Sistem Pendidikan Kolonial Eropa (1512-1941).
Bangsa Eropa masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke 15 M yaitu bangsa Portugis yang membuat pos dagang di Ternate (Maluku). Beberapa tahun kemudian Spanyol mendirikan pos di Malaka (Malaysia) dan di Maluku begitu pula Inggris. Kedua negara ini memiliki tujuan 3G yaitu Gold, Glory dan Gospel yang artinya kekayaan, kejayaan dan penginjilan. Pendidikan saat itu hanya berpusat pada pendalaman agama yang diajarkan oleh para rahib dan pastur untuk melayani kerohanian para prajurit koloni maupun keluarganya yang ikut beserta. Karena sikapnya yang kurang bersahabat maka bangsa Eropa sulit sekali menyebarkan agama kristen (katolik), apa lagi Belanda dengan kongsi dagangnya VOC dengan akal piciknya menjajah Indonesia membuat kaum pribumi membenci agama kristen karena dianggap agama kafir tidak beradab. Karena Belanda tidak terlalu perduli dengan misi Gospel (penginjilan) seperti negara penjajah lainnya, maka penginjilan terbatas pergerakannya. Berbeda dengan islam, pendidikan Belanda hanya doprioritaskan bagi kaum kolonial, tuan tanah, anak pejabat, orang Tiong-Hwa, pedagang, raden dan orang kristen, sedangkan kaum pribumi yang belum masuk islam dijadikan budak kolonial. Pada abad ke 18 dan 19an, sekolah dipakai untuk menyekolahkan pejabat dan keluarga koloni. Sejalan waktu sekolah dipakai untuk sarana penginjilan juga, jadi orang pribumi harus jadi kristen supaya bisa sekolah dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum saat itu dibedakan antra kurikulum koloni dan pribumi, tujuannya agar kaum pribumi tidak memiliki kepandaian seperti orang kolonial. Belanda takut jika rakyat pribumi terlalu pintar akan terjadi pemberontakan terhadap koloninya. Beberapa kaum terpelajar diasingkan dan dipotong pergerakannya.

  1. Sistem Pendidikan Jepang (1941-1945).
Sejak meletusnya Perang Dunia II, Belanda sedikit kualahan membentuk gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia yang dipelopori Kaum Muda. Tahun 1941 Jepang masuk dan memukul keluar Belanda dari Indonesia. Serupa dengan Belanda, pendidikan saat itu dibungkam dan setiap anak muda harus masuk kesatuan militer Jepang dengan propaganda membela Indonesia dari penjajahan Belanda yang akan kembali.

  1. Sistem Pendidikan Orde Baru sampai sekarang.
Sejak kemerdekaan 1945 dan PBB yang menyerukan hak pendidikan diseluruh dunia seharusnya membuka kesempatan rakyat untuk mengenyam pendidikan, namun faktanya tidak demikian. Rakyat miskin tetap sulit sekolah karena terlalu tinggi biayanya, dan pemerintah tidak punya cara agar pendidikan dapat dienyam oleh seluruh masyarakat. Dari segi kurikulum, tahun demi tahun tidak ada perubahan yang signifikan, tampaknya sejarah banyak diputar balik demi kaum politisi dan politik kotor pemimpin di parlemen. Pembodohan dan pembungkaman masih terus berlangsung, meski dengan berbagai topeng. Pemberangusan kaum aktifis dan pemerhati masyarakat masih dirasakan sampai kejatuhan Orde Baru. Korupsi dan penyimpangan adalah bukti gagalnya pendidikan Indonesia yang katanya telah merdeka dari kolonialisme.


  1. Sepintas Tentang Teologi Pembebasan.
Hampir semua negara Amerika Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan perendahan harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an.Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion, 1971. Selain itu Juan Louise Sguondo dan John Sabrino, adalah pastor yang membuat pemikiran Teologi Pembebasan menjadi kuat selain Paulo Freire yang mencetuskannya dari segi pendidikan.
Teologi pembebasan sebenarnya adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.


  1. Tentang Paulo Freire.
Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.
Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang pendidikan WCC.


  1. Pendidikan Gaya Bank versus Pendidiakan Hadap Masalah.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.
Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.

  1. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia. Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia14. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.

  1. Pendidikan Yang Membebaskan dan Pendidikan Hadap-Masalah.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu :
  1. Kesadaran intransitif
dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
  1. Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis.
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
  1. Kesadaran Naif.
Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
  1. Kesadaran kritis transitif.
Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.

Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya sendiri.


  1. Pendidikan Yang Membebaskan dan relevansinya bagi Indonesia.
Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama. Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai sebutan khas di berbagai daerah. Sebagai contoh adalah stratifikasi sosial dalam masyarakat Toraja dan dalam masyarakat Bali. Dalam masyarakat Toraja strata sosial disebut “Tana”. Tana’ Bulawan (strata tertinggi) adalah pemilik budak (tana’ koa-koa) dan sekaligus pemilik harta dan kekuasaan yang “mutlak”. Walaupun strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.
Banyak sekali teori tentang pendidikan yang diajarkan bagi calon guru yang sedang menempuh ilmu pada perguruan tinggi. Teori-teori yang dipelajari hampir semua mengacu pada interaksi antara pendidik dan peserta didik. Bukan hanya itu, tapi, perkembangan peserta didik juga mendapat sorotan dari hampir keseluruhan teori yang diajarkan. Bahkan dalam tujuan pendidikan nasional Indonsia sendiri menurut UU no 20 tahun 2003, “ Bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kenyataannya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Penyebabnya adalah kebiasaan meniru yang yang sudah mengakar pada budaya pengajaran itu sendiri. Guru-guru yang ada saat ini banyak yang merupakan guru-guru lama. Sistem lama dan undang-undang yang pada masa mereka kuliah diterapkan saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Metode mengajar yang demikian merupakan adopsi dari cara mengajar guru mereka sendiri yang diterima ketika mereka menempuh pendidikan. Sedangkan cara guru mereka itu disinyalir merupakan metode mengajar jaman kolonial Belanda. Inilah mengapa sistem pendidikan saat ini masih terkait dengan model pendidikan yang diterapkan ketika jaman penjajahan dahulu.
Ketika masa penjajahan, bangsa Indonesia dituntut untuk menyediakan tenaga terampil namun hanya dijadikan pesuruh semata dan bukan inisiator seperti kaum kolonial atasannya. Hal ini menimbulkan masalah jika lulusan sekolahan dituntut untuk memiliki keahlian yang dapat bersaing dengan pasar internasional namun dengan sistem pendidikan sistem koloni. Akhirnya Indonesia hanya dapat menghasilkan tenaga terampil namun berada dalam kelas pekerja terendah dan hanya bisa mengekspor buruh-buruh kasar demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pasaran. Kembali jika demikian Indonesia akan menjadi bangsa yang diperbudak oleh orang lain. Kasus TKI/TKW yang sering dianiaya oleh majikannya di tanah seberang harusnya menjadi refleksi bangsa bahwa sesungguhnya tenaga pekerja Indonesia tidak punya martabat di negeri orang, status mereka hanyalah “budak” yang dibeli dan dipekerjakan sesuka hati bahkan sampai disiksa-pun itu wajar. Hal itu bisa dipahami karena para TKI ini tidak diberikan pendidikan tenaga kerja yang terampil (hanya level pekerja kasar dan pembantu rumah tangga) ada kalanya mereka malah sama sekali tidak punya keahlian padahal notabene mereka harus bekerja ditempat orang. Sungguh mengherankan juga apabila pemerintah Indonesia terkadang sering bungkam akan kasus kekerasan ini, apakah memang sesungguhnya Indonesia ini masih memiliki mental budak koloni yang selalu kalah dengan bangsa lain?
Sudah bukan masanya setiap guru mendidik dengan multipel skilled oriented seperti jaman kolonialisme dahulu. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan mulai terfokus pada pendidikan specific ability oriented yang dapat memenuhi standar kebutuhan internasional yaitu pendidikan berkejuruan sehingga peserta didik ahli dalam bidangnya seperti SMK. Tampaknya metode ini juga harus mulai diterapkan pada tingkat pendidikan dasar. Jika selama ini satu kelas hanya diajar oleh seorang guru maka kebiasaan ini harus mulai dirubah. Sebagaimana diterapkan pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Kita harus mulai menyadari bahwa pendidikan di Indonesia ini merupakan pendidikan yang terlindas. Sistem yang ada hanya mengakomodir kepentingan pasar yang meminta tenaga terampil. Sebaliknya, baik tenaga ahli maupun proses untuk menjadikan tenaga terampil itu sendiri terabaikan. Tenaga ahli dengan keahlian khususnya justru kurang diakomodir kesempatan berusahanya. Sedangkan tenaga ahli sengaja didatangkan dari luar negeri dengan biaya yang mahal. Disayangkan banyak anak usia sekolah yang karena mahalnya biaya pendidikan terpaksa memendam keinginan untuk sekolah terhambat dengan realitas keadaan ekonomi. Mereka biasanya akan berakhir menjadi anak jalanan atau pekerja kasar tingkat paling rendah. Sekali lagi mereka tertindas dan tersingkirkan.
Pelaksanaan Pendidikan agama dalam gereja juga tidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebih memprihatinkan sebab justru dalam gereja pendekatan “indoktrinasi” lebih mendapat tekanan yang dominan. Pengajaran di Sekolah Minggu dan Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan dalam konteks yang berbeda dengan konteks Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk “membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat. Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”? Memang cukup dipahami ada kesulitan sendiri mendidik jemaat jika jumlahnya sudah ratusan sedangkan para pekerja gereja hanya sedikit, tapi setidaknya pendidikan yang membebaskan bisa diselipkan diantara khotbah-khotbah umum ibadah raya. Sebagaimana fungsinya, gereja punya tanggungjawab mendidik jemaat akan kebenaran Kristus, beberapa gereja memiliki PA atau komsel yang ketat, dari sinilah seharusnya bisa diterapkan agar para murid PA memiliki kesempatan sebagai individu yang dimerdekakakan pola pikirnya sehingga mereka bisa mengecap fakta-fakta keseharian tentang Alkitab.


  1. Kesimpulan
Bagi negara maju, pendidikan menjadi peranan penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Negara yang maju adalah negara yang mengusahakan pendidikan penduduknya secara optimal, sehingga segala manifestasi yang dihasilkan anak didik dapat dirasakan bagi negaranya. Pendidikan harafiahnya adalah usaha sadar dan terencana seumur hidup untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan akan Tuhan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan serta skill yang diperlukan bagi dirinya dalam kemandirian dan bermasyarakat. Pendidikan memberi andil sangat besar terhadap kehidupan suatu masyarakat dan kemajuan suatu negara. Tetapi tak jarang juga pendidikan dipakai sebagai propaganda politik dalam melicinkan maksud dan tujuannya. Semasa kolonialisme pendidikan adalah sarana koloni yang efeknya pelan namun merusak. Pendidikan dipakai sebagai saran “pembodohan” dan “pembisuan” suara rakyat terkoloni. Kolonialisme dan kekerasan dapat dilambangkan sebagai mata uang yang saling melekat pada kedua sisinya. Golongan kolonialis menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin. Dari situlah timbul kesadaran tentang pembebasan.
Teologi pembebasan sebenarnya adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial untuk mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.
Sedangkan permasalahan di Indonesia, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Sedangkan dari segi metode mengajar, adalah kebiasaan meniru yang yang sudah mengakar pada budaya pengajar. Metode mengajar yang demikian merupakan adopsi dari cara mengajar guru mereka sendiri yang diterima ketika mereka menempuh pendidikan. Sedangkan cara guru mereka itu merupakan metode mengajar jaman kolonial Belanda.
Dari keterampilan, sistem yang ada hanya mengakomodir kepentingan pasar yang meminta tenaga terampil. Sebaliknya, baik tenaga ahli maupun proses untuk menjadikan tenaga terampil itu sendiri terabaikan. Tenaga ahli dengan keahlian khususnya justru kurang diakomodir kesempatan berusahanya. Sedangkan tenaga ahli sengaja didatangkan dari luar negeri membuat sekolah mahal dan sulit dijangkau kaum marginal. Disayangkan banyak anak usia sekolah yang karena mahalnya biaya pendidikan terpaksa memendam keinginan untuk sekolah. Mereka biasanya akan berakhir menjadi anak jalanan atau pekerja kasar tingkat paling rendah.
Jika kembali ke gereja, pengajaran di Sekolah Minggu dan Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan dalam konteks yang berbeda dengan konteks Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk “membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat. Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia.
Akhirnya yang dapat disimpulkan adalah, pembungkaman dan pembisuan masih ada dimana-mana, seberapa jauhkah setiap kita menyadarinya lalu berusaha memperbaikinya?
Daftar Pustaka.

Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Snell, Daniel C, “Kehidupan di Timur Tengah Kuno 3100-332 SM”, Jakarta 2009, BPK Gunung Mulia
Badri Yatim “Dirasah Islamiyah II”, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta 2008, Raja Grafindo Persada.
Diktat Kuliah “Isu-isu kontemporer pendidikan kristiani” ,STT Aleitheia Lawang, Program Pasca Sarjana M.A.C.E Surabaya,2011
Lawrence O. Richards. “Pendidikan Berbasis Alkitabiah” , Bab Memilih dan Menggunakan Kurikulum (Bag.II no.12), halaman 192 – 195.
Muhammad, Hamid. “Garis-garis Besar Perundangan Pendidikan Nasiaonal,” Buku Pedoman Pendidikan Nasional, Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006.
Rooijakkers, Ad. Mengajar Dengan Sukses, Jakarta: Gramedia, 1984
Sidjabat, B.S. M.Th., Ed.D., ,Wawasan Pendidikan Kristen, Artikel Kurikulum Pendidikan Gereja; 2005, halaman 45 –53.
Berbagai sumber dari Internet, diakses secara terpisah.



1 http//:www.pendidikanonline.org/filsafat pendidikan/428%
Diakses 30 Oktober 2010, pukul 14.30 Wib
2 Ibid.,p.02
3 Boehlke, Robert, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek PAK, PT. Bpk gunung Mulia, Cetakan ke lima, Jakarta 2010. p. 467
4 http//:www.wacanapendidikan.id/pendidikan2%indonesia/tujuan3%pendidikan..(diakses 21 Oktober pkl. 21.30 wib)
5 http//:www.blogspot.pendidikan.com/fungsi34%pendidikan/pendidikan093%&/masyarakat..(diakses 21 Oktober pkl. 21.35 wib)
6 Daniel C Snell, “Kehidupan di Timur Tengah Kuno 3100-332 SM”, Jakarta 2009, BPK Gunung Mulia.
7 Collins English Dictionary. http//:www.worldhistory.bloger.com//…diakses 04 Maret 2011
8 www.standfordpedia.com, diakses 04 Maret 2011
9 Jürgen Osterhammel dalam Colonialism: A Theoretical Overview,
10 Daniel C Snell, “Kehidupan di Timur Tengah Kuno 3100-332 SM”, Jakarta 2009, BPK Gunung Mulia.
Selain itu Snell mengatakan bahwa kekuasaan raja pada jaman purba dianggap sangat penting dan tinggi, selain sebagai kepala negara juga sebagai imam tertinggi (mis: Melkisedek) sehingga menentukan kemajuan dan kemakmuran negaranya. Dahulu raja yang bijak adalah raja yang mampu memperluas daerahnya dan memakmurkan rakyatnya. Adanya pengaruh tersebut membuat raja-raja berjuang merebut daerah-daerah, sebab itu dalam kitab Samuel dikatakan bahwa raja-raja ada musimnya berperang tapi saat itu Daud tidak. Raja yang berhasil merebut teritorial lawannya dianggap pahlawan yang gagah perkasa, dihormati dan sering dianggap anak dewa yang memungkinkan terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan (mis: Nebukadnessar, Alexander Agung, Julius Caesar, dst)
11 Satrio Wahono, et, el.,Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004, Jakarta: serambi
12 Ibid,hal. 280
13 www.wikipedia.com//colonialism// diakses tgl 3 Maret 2011
14 Ibid, hal 15-21. Satrio Wahono,Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Rakyat Indonesia saat Hindu-Buddha masuk masih hidup dalam era tembaga, artinya masih primitif meskipun mereka sudah mampu membuat kapal yang mengarungi tiap pulau-pulau kecil. Budaya mereka adalah Animisme dan Dinamisme, yaitu percaya pada roh dan hal-hal gaib. Sampai saat ini menurut Wahono, penduduk ini masih ada di daerah pedalaman Kalimantan dan Irian jaya.
15 Badri Yatim “Dirasah Islamiyah II”, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta 2008, Raja Grafindo Persada.
16 Ibid, hal. 196-197
17 Ibid, hal. 200-204
18 Badri Yatim “Dirasah Islamiyah II”, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta 2008, Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar